A.
Latar Belakang
Cedera dan kematian
seluler dapat disebabkan oleh mikroorganisme, kekurangan oksigen, atau oleh
agens fisik seperti suhu ekstrem, kimiawi toksik, atau radiasi. Kekurangan
oksigen (anoksia) adalah penyebab paling umum cedera dan kematian seluler.
Kondisi berikut dapat menimbulkan masalah ini: iskemia, trombosis, embolisme,
infark, nekrosis, dan kematian somatis. Cedera ini bersifat reversibel pada
beberapa keadaan, atau dapat berlanjut menjadi permanen, perubahan letal (Jan
Tambayong, 2000).
Iskemia merupakan kekurangan suplai darah pada
area terlokalisasi. Keadaan ini bersifat reversibel, yaitu jaringan kembali
pada fungsi normal setelah oksigen dialirkan kembali kepadanya, Iskemia
biasanya terjadi pada adanya aterosklerosis,
yaitu penimbunan lipid di tunika intima dan tunika media pembuluh darah.
Akibatnya lumen menyempit atau terbentuk trombus. Gejela kliniknya berupa
timbul rasa sakit pada organ yang bersangkutan pada saat aktif dan menghilang
setelah istirahat. Contoh keadaan ini adalah angina pektoris pada jantung, dan
klaudikasi intermiten pada kaki. Kadang-kadang iskemia berlanjut menjadi infark
(matinya sel-sel akibat kurang oksigen). Sel-sel otak, jantung, dan ginjal
hanya bertahan selama beberapa menit tanpa oksigen; fibroblas dari jaringan
ikat bertahan sampai 2 minggu. Penyebab
lain iskemia adalah vasospasme (tanpa aterosklerosis), misalnya pada arteri
koronaria, yang diakibatkan oleh nikotin, kedinginan, dan kadang-kadang stres.
(Jan Tambayong, 2000).
Trombosis merupakan
pembentukan bekuan pada lapisan intima pembuluh darah. Trombosis dapat
menurunkan aliran darah atau secara total menyumbat pembuluh darah. Trombosis
juga dapat terjadi pada lapisan endotel jantung (trombosis mural). (Jan
Tambayong, 2000).
Trombus sering terjadi
pada vena pronfuda kaki; bila pada jantung, dapat terlepas, menjadi emboli yang menyangkut di sirklasi paru. Trombosis
pada arteri dapat menghentian aliran darah pada area yang dialiri oleh pembuluh
tersebut dan menyebabkan iskemia atau infark pada area tersebut. (Jan
Tambayong, 2000).
Trombus yang terlepas
menjadi massa yang berkeliling di dalam darah. Proses ini disebut embolisasi
trombotik. Tipe emboli paling umum berasal dari trombus, tetapi dapat berasal
dari substansi lain seperti lemak, deposit pada katup jantung yang terlepas,
atau partikel asing. Bila embolis timbul dalam peredaran vena, maka akan
terperangkap dalam sirkulasi paru. Bila embolus berasal dari jantung kri, dapat
terjadi embolisme di sembarangan tempat sepanjang aliran arteri. (Jan
Tambayong, 2000).
Penutupan aliran darah
berakibat infark, yaitu matinya sel-sel yang diperdarahi. Disebut juga dengan
nekrosis iskemik. Infark ini macam-macam yaitu infark pucat, infark hemoragis,
dan infark bakterial. Infark pucat terlihat pada jaringan padat yang kehilangan
sirkulas i arterialnya sebagai akibat
dari iskemia. Infark merah atau hemoragis lebih sering pada sumbatan vena atau
pada jaringan yang mengalami bendungan. Pertumbuhan bakteri umum terjadi dan mungkin ada di suatu
area atau mungkin dibawa ke area tersebut. Klasifikasi infark septik
ditambahkan bila ada bukti infeksi bakteri pada area tersebut. Gangren adalah
contoh infark dimana kematian sel iskemik diikuti oleh pertumbuhan bakteri (Jan
Tambayong, 2000).
Istilah nekrosis mengacu
pada kematian jaringan yang dikarakteristikan oleh bukti kematiam struktural.
Nekrosis umumnya dikategorikan sebagai nekrosis koagulatif, nekrosis
likuefaktif, tipe khusus, dan apoptosis (Jan Tambayong, 2000).
Nekrosis koagulatif
biasanya diakibatkan oleh kekurangan suplai darah pada suatu area. Nekrosis
koagulatif ini adalah pola nekrosis paling umum. Nekrosis ini sering terjadi
sebagai akibat infark pada organ seperti jantung dan ginjal, tetapi juga dapat
diakibatkan oleh cedera kimiawi. Nekrosis kaseosa dianggap mempunyai hubungan
dengan tuberkolosis, tetapi mungkin saja ada pada kondisi lain. Nekrosis
likuefakif paling sering terjadi pada jaringan otak dan disebabkan oleh cedera
fatal pada neuron (Jan Tambayong, 2000).
Kematian tubuh terjadi
bila fungsi respirasi dan jantung berhenti. Setelah kematian tubuh aktual
terjadi, sel-sel individual tetap hidup selama waktu yang berbeda-beda.
Perubahan yang tidak dapat dipulih
kemudian terjadi pada sel dan organ, kadang-kadang sulit untuk membedakan
masalah patologis premortem yang pasti. Perubahan posmortem mencakup rigor
mortis (menjadi kaku), liver mortis (becak biru kemerahan), algor mortis (
tubuh menjadi dingin), bekuan intravaskular, autolisis (oleh enzim-enzim
pencernaan), dan putrefaksi (pembusukan) (Jan Tambayong, 2000).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
organisasi seluler ?
2.
Apa yang dapat
menyebabkan cedera dan kematian sel ?
3.
Bagaimana perubahan
morfologik pada sel subletal ?
4.
Bagaimana terjadinya
kematian sel ?
5.
Bagaimana hasil dari
jaringan nukreotik ?
6.
Apa saja klasifikasi
dari patologik ?
7.
Apa faktor terjadinya
kematian formatik ?
8.
Bagaimana hasil kematian
formatik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Organisasi Seluler
Didalam tubuh
terdapat berbagai jenis sel dengan fungsi-fungsi yang sangat khusus,semua sel sampai taraf
tertentu, mempunyai gaya hidup dan unsur struktutal yang serupa. Mereka mempunyai keperluan yang sejajar akan zat-zat
seperti oksigen dan suplai zat makanan, suhu, suplai air dan sarana
pembuangan sampah yang konstan. Sel secara harafiah adalah unit kehidupan,
kesatuan lahiriah yang terkecil yang menunjukkan bermacam-macam fenomena yang
berhubungan dengan hidup.Karena itu, sel juga merupakan unit dasar penyakit (Aswika Tisna, 2013).
Organisasi sel:
Sel
dibatasi oleh membran sel, yang tidak saja memberi bentuk
sel tetapi juga melekatkannya pada sel lain. Bahkan yang lebih penting,membran
sel bekerja sebagai pintu gerbang dari dan ke sel, memungkinkan hanya zat-zat
tertentu sajalewat pada kedua jurusan, dan bahkan secara aktif mengangkut
beberapa zat secara selektif. Membransel juga yang harus menerima tanda
pengaturan dari sekitar tubuh dan menghantarkan tanda ini kebagian dalam sel
(Aswika Tisna, 2013).
Di
dalam sel terdapat nukleus, yang bertindak sebagai pusat pengaturan karena
ternyata bahwa DNA terpusat di dalamnya. Instruksi yang
disandikan dalam DNA nukleus sebenarnya dilaksanakan didalam sitoplasma, bagian sel yang di luar nukleus. Sitoplasma
adalah medium berair yang mengandungbanyak struktur yang demikian kecilnya
sehingga mereka hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.Organ-organ ultra
mikroskopis ini disebut organela dan
fungsi mereka sangat khusus meskipun dalambatas sebuah sel (Aswika Tisna, 2013).
Mitokondria
adalah organela yang ditugaskan untuk produksi energi di dalam sel. Mereka
adalahsumber tenaga dari sel sebab di dalam mitokondria dioksidasi
bermacam-macam zat makanan untuk menghasilkan tenaga penggerak bagi
kegiatan-kegiatan lain dari sel.Retikulum endoplasma dan aparatus Golgi
merupakan semacam sistem pembuatan, proses dan penambalan dalam sitoplasma.retikulum endoplasma
adalah suatu jaringan yang terdiri dari tubuli dan sisterna yang salingberhubungan
satu dengan lain, sedangkan kompleks Golgi adalah deretan sisterna yang pipih
yangberhubungan erat serta vesikel-vesikel yang berhubungan. Sintesis protein
dikerjakan dengan bantuanretikulum endoplasma di bawah pengawasan RNA (asam
ribonukleat) di dalam ribosom. RNA sitoplasmasebetulnya dihasilkan dan dipimpin
oleh DNA nukleus untuk bertindak sebagai semacam regu perakitdalam hubungan
dengan peranan khusus DNA. Ribosom melakukan sintesis protein dengan
merakitasam-asam amino menjadi molekul-molekul kompleks menurut
petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh
DNA (Aswika Tisna, 2013).
Aparatus
Golgi adalah alat pembungkus yang membungkus hasil-hasil sel untuk
dikeluarkan(sekresi) atau untuk disimpan dalam sel. Kompleks glikoprotein
tertentu juga dikeluarkan di dalam aparatus
Golgi (Aswika Tisna, 2013).
Lisosom
adalah bungkusan enzim pencernaan yang terikat membran, disiapkan oleh sel dan dibiarkan tidak
aktif sampai dibutuhkan. Organela lain yang tidak di tunjukkan bertanggaung
jawab atas fungsi-fungsi istimewa tambahan di dalam sel, seperti memberi
kekakuan dan/atau gerakan dengan
cara muskuloskleton. Bermacam - macam organela mewakili organisme utuh dalam mikroskosmos dan
kegiatan mereka harus dikoordinasi dan diatur secara ketat untuk menjaga integritas sel (Aswika Tisna, 2013).
Diagram sebuah sel yang khas. Struktur dasar bagi pembagian
kerja dalam sel diperlihatkan secara diagramatis. Perlu dicatat bahwa dalam
tubuh hidup membran sel tidak saja membatasi sel dan mengatur jalan masuk ke
dalam sel, tetapi juga menghubungkan sel dengan sel lainnya untuk membentuk
jaringan (Aswika Tisna, 2013).
Perlu
ditekankan bahwa setiap sel saling berhubungan satu sama lain melalui berbagai
cara dalammembentuk jaringan dan organ. Beberapa jaringan, seperti epitel
pembatas atau epitel penutup terdiridari kelompok sel yang rapat, saling
melekat erat secara langsung dengan sedikit sekali ruang antara. Kelompok
sel jenis ini adalah lunak dan lentur dan tidak dapat mempertahankan bentuk
organ atau kekuatan lentur tubuh. Sebenarnya jaringan penyambunglah yang
mempersatukan sel-sel tersebut menjadi tubuh karena jaringan ini memiliki
substansi interseluler, secara harafiah jaringan penyambung merupakan zat antar sel. Zat ini merupakan kolagen yang
merupakan suatu protein yang dihasilkandalam bentuk serabut yang amat kuat (seperti tendo dan ligamentum) dan elastin
yang juga protein yangdibentuk menjadi serabut, tetapi dengan sifat-sifat
kenyal. Di antara serabut-serabut elastik ini terdapatmatriks atau zat dasar
seperti agar-agar. Kombinasi serabut kuat dan serat elastis serta matriks
mem-berikan kekuatan, bentuk, dan gaya pegas pada tubuh. Pada rangka, zat antar
sel ini diisi dengan garam-garam kalsium, menghasilkan tulang penyokong tubuh
yang kuat (Aswika Tisna, 2013).
B.
Modalitas Cedera Seluler
Terdapat banyak
cara di mana sel mengalami cedera atau mati tetapi bentuk-bentuk luka yang
pen-ting hanya dibagi dalam beberapa kategori. Salah satu faktor yang paling
sering yang dapat melukai sel adalah
defisiensi oksigen atau bahan makanan. Sel-sel khususnya bergantung pada suplai
oksigen yang kontinyu sebab energi dari reaksi-reaksi kimia
oksidatiflah yang menggerakkan sel dan mempertahankan integritas berbagai
komponen sel. Karena itu, tanpa oksigen berbagai aktivitas pemeliharaan dan
sintesis sel berhenti dengan cepat. Sebab kedua yang penting dapat melukai sel
adalah agen fisik yang sebenarnya menyangkut robeknya sel, atau paling sedikit
adanya gangguan hubungan spasial antara berbagai organelaatau gangguan
integritas struktural dari salah satu organela atau lebih. Jadi, cedera akibat mekanik dan Suhu penting sebagai penyebab penyakit pada manusia (Aswika Tisna, 2013).
Agen-agen menular yang hidup merupakan
kategori ketiga dari sebeb cedera, dan terdapat banyak cara di mana organisme tertentu menimbulkan cedera
pada sel. Agen kimia sering dapat melukai sel. Zat-zat toksik ini
tidak saja masuk ke dalam sel dari melainkan merupakan akumulasi zat-zat endogen
( seperti”kesalahan” metabolieme yangditentukan secara genetik) dapat melukai sel-sel dengan cara yang sama (Aswika Tisna, 2013).
C.
Sel Yang Diserang
Jika stimulus yang menimbulkan cedera menyerang sebuah
sel, maka efek pertama yang pentingadalah apa yang dinamakan lesi biokimiawi. Ini menyangkut perubahan
kimia dari salah satu atau lebih reaksi metabolisme di dalam sel adalah menarik
untuk dicatat bahwa pada tingkat ini sebenarnya sangat sedikit kelainan yang dipahami. Walaupun pada
sel yang cedera dapat terlihat perubahan-perubahanbiokimiawi, kelainan yang
sangat sering terlihat merupakan efek kedua atau ketiga dari lesi biokimiawiprimer (Aswika Tisna, 2013).
Bila kerusakan biokimiawi sudah terjadi, maka sel
dapat atau tidak menunjukkan kelainan fungsi. Sering kali sel memiliki
cukup cadangan untuk dapat tetap bekerja tanpa gangguan fungsi yang berarti;
dalam hal lain dapat terjadi kegagalan kontraksi, sekresi atau kegiatan sel
yang lain (Aswika Tisna, 2013).
Pada sel dengan kelainan biokimia dan kelainan
fisiologi dapat atau tidak dapat ditemukan morfologis. Keterbatasan ini adalah pada segi teknis.
Perubahan-perubahan yang tampakpada pemeriksaan mikroskopik rutin umumnya
adalah perubahan-perubahan yang sudah lama, karenabanyak kelainan biokimia dan
kelainan fisiologi mungkin sudah terjadi sebelum kelainan anatomis
terjadi.Penemuan mikroskop elektron memungkinkan untuk mengetahui lebih awal
kerusakan-kerusakan mi-kroskopis dari berbagai organela, tetapi dengan teknik
yang tersedia dewasa ini masih banyak sel yangsecara fungsional terganggu,
tetapi tidak tampak kelainan secara morfologis (Aswika Tisna, 2013).
Suatu serangan terhadap sel tidak selalu
mengakibatkan gangguan fungsi. Ternyata, terdapat mekanisme adaptasi sel
terhadap berbagai gangguan. Misalnya, suatu reaksi umum yang terjadi padasel
otot yang secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu berada dalam beban
kerja tinggi adalah meningkatnya kekuatan dengan pembesaran, proses ini disebut
hipertrofi. Jadi sel-sel otot
jantung dari seorang dengan tekanan darah tinggi akan membesar untuk
menanggulangi tekanan memompa tahanan
yang meningkat. Jenis adaptasi serupa terjadi juga pada tantangan kimiawi
tertentu.Barbiturat dan zat-zat tertentu lain biasanya dimetabolisme dalam
sel-sel hati, di bawah pengaruh sistemenzim yang terdapat dalam sel-sel ini
dibantu oleh retikulum endoplasma. Pada seseorang yang menelanbarbiturat,
sering terjadi peningkatan yang menyolok pada jumlah retikulum endoplasma di
dalam sel-sel hati, dan ini berhubungan dengan kenaikan
kandungan enzim dalam sel-sel ini dan menambah kemampuan untuk metabolisme obat
ini (Aswika Tisna, 2013).
D.
Perubahan Morfologis Pada Cedera
Sel Subletal
Bila
sel mengalami cedera tetapi tidak mati, maka sering sel-sel tersebut
menunjukkan perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat dikenali. Secara
potensial perubahan-perubahan subletal inireversibel, sehingga jika rangsang
yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, maka sel kembali sehat seperti semula (Aswika
Tisna, 2013).
Sebaliknya, perubahan-perubahan ini mungkin merupakan
suatu langkah ke arah kematian sel jika pengaruh yang berbahaya ini tidak dapat
diatasi. Perubahan subletal terhadap secara tradisional disebut degenerasi atau perubahan degeneratif. Walaupun tiap sel dalam tubuh
dapatmenunjukkan perubahan-perubahan semacam itu, tetapi pada umumnya sel yang
terlibat adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, seperti sel hati, ginjal
dan jantung (Aswika Tisna, 2013).
Perubahan-perubahan degeneratif cenderung melibatkan
sitoplasma sel, sedangkan nukleus
mempertahankan integritas mereka selama seltidak mengalami cedera letal.
Walaupun agen-agen yang menimbulkan luka atau yang menyerang selsangat banyak
jumlahnya, kelainan morfologis yang diperlihatkan oleh sel agak terbatas(Aswika Tisna, 2013).
Bentuk
perubahan degeneratif sel yang paling sering dijumpai adalah penimbunan
air di dalamsel yang bersangkutan. Cedera menyebabkan hilangnya pengaturan
volume pada bagian-bagian sel.Biasanya, dalam rangka untuk menjaga kestabilan
lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energimetabolik untuk memompa ion
natrium keluar dari sel. Ini terjadi pada tingkat membran sel. Apapun
yangmengganggu metabolisme energi dalam sel atau sedikit saja melukai membran
sel, dapat membuat seltidak mampu memompa ion natrium yang cukup. Akibat
osmosis yang wajar dari kenaikan konsentrasinatrium di dalam sel adalah
masuknya air ke dalam sel. Akibatnya adalah perubahan morfologis yangdisebut
pembengkakan sel. Untuk perubahan ini dulu disebut pembengkakan yang keruh,mencerminkan keadaan organ yang sel-selnya
mengalami perubahan seperti setengah matang, dan sel- sel yang terkena secara
mikroskopik terlihat sitoplasmanua granular (Aswika Tisna, 2013).
Bila air tertimbun di dalam sitoplasma, organel
sitoplasma menyerap air ini, menyebabkan pembengkakan mitokondria,pembesaran retikulum endoplasma, dan
sebagainya. Secara mikroskopis perubahan pembengkakan sel tidak nyata dan hanya
menyebabkan sedikit pembesaran sel dan sedikit perubahan susunan (Aswika Tisna,
2013).
Secara makroskopis terlihat pembesaran jaringan atau organ yang bersangkutan,
yang biasanya dapat diketahuioleh karena beratnya sedikit meningkat. Jika
bahaya pembengkakan sel dapat dihilangkan maka setelah beberapa lama sel-sel
biasanya mulai mengeluarkan natrium, dan bersama-sama dengan air, dan olumenya
kembali menjadi normal. Perubhan ini hanya merupakan gangguan ringan dari
keadaan normal (Aswika Tisna, 2013).
Jika terdapat aliran masuk air yang hebat, sebagian dari
organela sitoplasma seprti retikulum
endoplasma dapat diubah menjadi kantong-kantong yang berisi air. Pada
pemeriksaan mikroskopik terlihat sitoplasma bervakuola. Perubahan ini disebut
perubahan hidropik atau kadang-kadang disebut perubahan vakuolar. Bentuk dan perubahan-perubahan yang dialami
oleh organ-organitu identik dengan pembengkakan sel (Aswika Tisna, 2013).
Perubahan hidropik pada epitelium tubuli ginjal. Sel-sel
epitel yang melapisi tubuli kontrotrus membesar dan mempunyai sitoplasma
bervakuola, kelihatan seperti renda,disebabkan oleh penimbunan air inrasel
(Aswika Tisna, 2013).
Perubahan yang lebih penting dari pembengkakan sel
sederhana adalah penimbunan lipid intrasel. Jenis perubahan ini sering dijumpai
pada ginjal,otot jantung dan khususnya hati. Secaramikroskopis, sitoplasma dari sel-sel yang terserang
tampak bervakuola dengan cara yang sangat mirip dengan yang terlihat
pada perubahan hidropik, tetapi isi vakuola itu adalah lipid bukan air. Pada
hati, banyaknya lipid yang tertimbun di dalam sel
sering hebat, sehingga inti sel terdesak ke suatu sisi dan sitoplasma sel diduduki
oleh satu vakuola besar yang berisi lipid. Secara makroskopis jaringan yang terserang terlihat membengkak,
beratnya bertambah dan sering terlihat warna kekuningan yang nyata mengandung lipid. Hati yang
terserang dengan hebat seringkali berwarna kuning cerah dan jika disentuh
terasa berlemak. Jenis perubahan ini disebut perubahan berlemak atau lemak atau infiltrasi
lemak (Aswika Tisna, 2013).
Perubahan lemak sering
terjadi, sebab dapat ditimbulkan oleh begitu banyak mekanisme yang berbeda,
khususnya pada hati. Hepatosit ( dan jenis sel lain), dalam keadaan normal
terlibat dalam metabolisme
aktif lipid. Zat-zat ini terusmenerus dimobilisasi dari jaringan adiposa ke
dalam aliran darah,di mana mereka diabsorpsi oleh sel-sel hati. Sebagian dari
lipid yang diabsorpsi oleh sel akan dioksidasi,sedangkan sebagian lagi diikat
oleh protein yang disintesis oleh sel dan kemudian dikeluarkan lagi darisel (ke
dalam aliran darah) dalam bentuk lipoprotein (Aswika Tisna, 2013).
Perubahan lemak pada hati, banyak sel hati memiliki
beberapa “lubang” kecil dalam sitoplasma atau satu vakuola besar yang mengubah berisi banyak lipid. Sel-sel hati di sebelah kiri bawah adalah merupakan sel normal. Penimbunan lemak di dalam sel dapat ditimbulkan
dengan mengganggu proses-proses per-tukaran biasa pada salah satu tempat dari beberapa tempat yang ada.
Misalnya, jika lipid yang diberikan kepada sel hati berlebihan, maka kemampuan
metabolisme dan sintesis dari sel tersebut akan dapat dilampaui sehingga lipid akan mengumpul di dalam sel.
Sebaliknya, meskipun lipid yang mencapai sel jumlahnya normal akan tetapi
oksidasinya terganggu oleh kelainan sel, maka lipid juga akan
tertimbun. Akhirnya, jika proses sintesis lipoprotein dan pengeluarannya
dipengaruhi di tempat manapun dari beberapa tempat yang ada, maka lipid akan
tertimbun juga. Karena sebeb-sebab inilah orang dapat menemukan perlemakan hati
pada berbagai keadaan mulai dari malnutrisi yang akan menghalangi sintesis
protein, sampai kelebihan makanan yang akan mengakibatkan hati dibanjiri oleh
lipid. Hipoksiaakan cukup mengganggu metabolisme sel untuk menimbulkan
penimbunan lemak, dan banyak sekali zat-zat beracun dari lingkungan itu akan
mempengaruhi sel-sel dengan sedemikian rupa sehingga mempermudah penimbunan
lipid. Salah satu dari racun-racun yang paling kuat
dan tersebar luas dalamlingkungan kita untuk menimbulkan perlemakan hati adalah
alkohol. Zat ini secara langsung beracun bagi sel-sel hati, secara
tidak langsung menimbulkan kelainan pada individu-individu yang minum
banyak alkohol, sebab hal ini sering menimbulkan malnutrisi.
Perubahan lemak secara potensial bersifat reversibel tetapi sering
mencerminkan kelainan hebat pada sel dan dengan demikian merupakan langkah
menuju kematian sel (Aswika Tisna, 2013).
Respon
lain dari sel-sel yang terserang adalah pengurangan massa, secara harafiah
merupakansuatu penyusutan. Pengurangan ukuran sel, jaringan, atau organ yang
didapatkan semacam itu, disebut atrofi. Kelihatannyasel atau jaringan
yang atrofi mempu mencapai keseimbangan di bawah keadaan berlawanan yang
dipaksakan padanya karena berkurangnya tuntutan total yang harus dipenuhinya. Tentu saja, jaringan atau organ yang atrofi
lebih kecil dari normal. Dalam perjalanannya menjadi atrofi,sel harus
mengabsorpsi sebagian dari unsur-unsurnya. Ini menyangkut apa yang
kadang-kadang disebut otofagositosis atau otofagi, secara harafiah merupakan
proses memakan diri sendiri, di mana enzim-enzim mencernakan bagian-bagian sel
yang ada dalam vakuola sitoplasma. Proses yang sama tidak saja terjadi dalam sel yang
mengalami atrofi tetapi juga dalam keausan eksistensi sel sehari-hari (Aswika
Tisna, 2013).
Bila organela
sitoplasma rusak, organela tersebut diasingkan dalam vakuola sitoplasma dan
dicernakan olehenzim. Proses pencernaan cenderung meninggalkan bekas-bekas atau
sisa dari bahan yang tidak dapat dicernakan yang sedikit demi sedikit tertimbun
dalam sel. Zay ini sebagian besar berasal dari struktur membran dalam sel dan umumnya berwarna coklat
tua. Waktu sel-sel menua, sel-sel tersebut mengumpulkan pigmen
intrasitoplasma makin lama makin banyak, disebut lipofusin, pigmen ketuaan,
atau pigmen keausan. Sewaktu sel mengalami atrofi, lipofusin bahkan dapat
menjadi lebih pekat karena kegiatan
otofagosit yang meningkat. Kadang-kadang jaringan atrofi berpigmen lebih kasar;
proses yang bertanggung jawab atas keadaan ini disebut atrofi
coklat. Bahan-bahan sisa yang tidak dapat larut mungkin juga ditimbun sebagai
hasil dari
heterofagositosis atau heterofagi yang merupakan
pengambilan zat oleh sel dari luar sel.
Pembicaraan
tentang perubahan-perubahan degeneratif harus menyinggung masalah penuaan. Jelaslah, proses
seseorang menjadi tua adala sesuatu yang sangat kompleks, yang menyangkut banyak faktor genetik, faktor endokrin,
faktor imunologis, dan faktor lingkungan. Proses ini pada semuatingkat, mulai
dari tingkat individu secara utuh sampai tingkat satu sel, sedikit sekali yang
dapat dipahami. Sudah didalilkan bahwa penuaan dapat diakibatkan oleh
pembatasan genetik yang nyata pada replikatif dari sel, digabungkan dengan penimbunan progresif dari
luka-luka kecil dalam selyang tidak lagi melakukan proliferasi. Namun, belumlah
mungkin untuk mengidentifikasikan semua ciri- ciri sel yang khas yang
bertanggung jawab atas proses penuaan dan implikasi fungsional yang sebenarnya dari perubahan-perubahan yang
nonspesifik sekalipun tidak diketahui (Aswika Tisna, 2013).
E.
Kematian Sel
Jika pengaruh berbahaya pada sebuah sel cukup hebat atau
berlangsung cukup lama, maka selakan mencapai titik dimana sel tidak lagi dapat
mengkompensasi dan tidak dapat melangsungkan metabolisme. Pada hipotesis yang
tidak dapat dibantah, proses-proses ini menjadi ireversibel dan sel sebetulnya
mati. Pada saat kematian hipotetik ini. Sewaktu sel tepat mencapai titik dimana
sel tidak dapat dapat
kembali lagi, secara morfologis tidak mungkin untuk mengenali bahwa sel itu
sudah mati secaraireversibel. Namun, jika sekelompok sel yang sudah mencapai
keadaan ini masih tetap berada dalam hospes
yang hidup selama beberapa jam saja, maka terjadi hal-hal tambahan yang
mempermudahidentifikasi apakah sel-sel atau jaringan tersebut sudah
mati. Semua sel memiliki berbagai enzim yang banyak di antaranya bersifat
litik. Sewaktu sel hidup, enzim-enzim ini tidak menimbulkan kerusakanpada sel,
tetapi enzim-enzim ini dilepaskan pada saat kematian sel, dan mulai melarutkan
berbagai unsure sel. Selain itu, pada saat sel mati berubah secara
kimiawi, jaringan hidup yang bersebelahan memberikan respon terhadap
perubahan-perubahan itu dan menimbulkan reaksi peradangan akut (materi tentang radang dibahas tersendiri). Bagian dari reaksi yang
terakhir ini adalah pengiriman banyakleukosit atau sel darah putih ke daerah
itu, dan sel-sel leukosit ini membantu pencernaan sel-sel yangmati. Jadi, oleh
karena enzim-enzim pencernaan tersebut atau sebagai akibat proses peradangan,
maka sel-sel yang sudah mencapai titik puncak di mana sel tidak dapat kembali
legi mulai mengalami perubahan
morfologis yang dapat dilihat (Aswika Tisna, 2013).
Bila sebuah sel atau
sekelompok sel atau jaringan dalam hopes yang hidup diketahui mati, mereka disebut nekrotik Nekrosis merupakan
kematian sel lokal.
Perubahan morfologis pada nekrosis (Aswika Tisna, 2013).
Umumnya, walaupun perubahan-perubahan lisis yang terjadi
dalam jaringan nektotik dapat melibatkan
sitoplasma sel, intilah yang paling jelas menunjukkan perubahan-perubahan
kematian sel.Biasanya inti sel yang mati itu menyusut, batasnya tidak teratur,
dan berwarna gelap dengan zat warna yang biasanya digunakan oleh para ahli patologi.
Proses ini dinamakan piknosisdan
intinya disebut piknotik (Aswika Tisna, 2013).
Kemungkinan
lain, inti dapat hancur, dan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin
yangtersebar di dalam sel. Proses ini disebut karioreksis. Akhirnya, pada
beberapa keadaan, inti sel yangmati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan
menghilang begitu saja, proses ini disebut kariolisis (Aswika Tisna, 2013).
Perubahan inti pada kematian sel. Perubahan morfologis
paling jelas yang menunjukkan kematian sel adalah perubahan morfologi pada inti. (A) inti normal; (B) inti
piknotik; (C) inti karioreksis; (D) inti yangsudah mengalami kariolisis (Aswika Tisna, 2013).
Penampilan morfologis jaringan nekrotik berbeda-beda
tergantung pada akibat litik dalam
jaringan mati. Jika kegiatan enzim-enzim litik dihambat oleh keadaan lokal,
maka sel-sel nekrotikitu akan mempertahankan bentuk mereka, dan jaringannya
akan mempertahankan ciri-ciri arsitekturnya selama beberapa waktu.
Jenis nekrosis ini dinamakan nekrosis koagulative dan khususnya sering dijumpai
bila nekrosis disebabkan oleh hilangnya suplai darah. Nekrosis koagulativa
adalah jenis nekrosis yang paling sering dijumpai (Aswika Tisna, 2013).
Dalam beberapa keadaan jaringan nekrotik sedikit demi
sedikit mencair akibat kerja enzim, proses ini dinamakan nekrosis liqueaktiva. Ini khususnya sering terjadi pada daerah otak
nekrotik, dan akibatnya secara harafiah adalah lubang dalam otak yang terisi
oleh cairan (Aswika Tisna, 2013).
Pada
keadaan lain sel-sel nekrotik itu hancur, tetapi pecahan-pecahan sel yang
terbagi halus itutetap berada di daerah itu selama berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, jelas tidak dapat dicernakan. Jenis nekrosis ini
disebut nekrosis kaseosa karena kenyataan bahwa daerah yang terkena tampak seperti keju yang hancur jika dilihat secara
makroskopik. Prototipe keadaan yang menimbulkan nekrosis kaseosa adalah
tuberkulosis, walaupun jenisnekrosis ini dapat ditemukan pada banyak keadaan
lain (Aswika Tisna, 2013).
Nekrosis liquefaktiva. Disebelah kiri pada bagian otak
ini terlihat defek besar. Substansi otak di daerah ini mengalami nekrosis
disebabkan oleh hilangnya sulai darah. Seperti pada organ ini jaringan yang
nekrotik sedikit demi sedikit menjadi lunak,kemudian mencair, dan meninggalkan defek yang permanen (Aswika Tisna, 2013).
Keadaan
lokal khusus tertentu dapat menimbulkan jenis nekrosis lain.Gangren merupakan salah satu
jenis nekrosis koagulativa, biasanya disebabkan oleh tidak adanya suplai darah,
disertai pertumbuhan bakteri saprofit. Gangren timbul pada jaringan nekrotik yang
terbuka terhadap bakteri yang hidup. Ini khususnya sering dijumpai pada
ekstremitas atau pada segmen usus yang nekrotik. Kadang-kadang jaringan
berwarna hitam yang mengkerut dari daerah gangren pada ekstremitas dimasukkan
digolongkan sebagai gangren kering sedangkan daerah bagian dalam yang tidak
dapat kering disebu gangren basah. Pada kedua keadaan ini proses melibatkan
pertumbuhan bakteri saprofit
di atas jaringan nekrotik. Jaringan adiposa yang nekrotik merupakan kasus
istimewa lain. Jika sistem saluran pankreas pecah, baik oleh trauma atau pada
penyakit pankreas yang spontan, maka enzim pankreas yang biasanya mengalir dalam saluran dapat tercecer ke sekitarnya. Sekret
pankreas itu mengandung banyakenzim hidrolisis yang kuat, termasuk lipase yang
memecah lipid dari jaringan adiposa. Jika pembelahan ini terjadi, maka
asam-asam berlemak terbentuk oleh kerja enzim dan dengan cepat digabungkan
dengan kation (seperti ion kalsium) didaerah itu sehingga menimbulkan
endapan-endapan sabun. Nekrosis lemak enzimatik ( atau pankreatik) sebagian
besar terbatas di rongga abdomen karena merupakan daerah yang terbuka terhadap kebocoran enzim pankreas. Jika
jaringan adiposa di tempat lain menjadi nekrotik, ceceran lipid dari sel-sel
yang mati itu dapat menimbulkan respon peradangan, tetapi tidak ada pembentukan
endapan-endapan kuning berkapur, yang khas untuk nekrosis lemak enzimatik gangren
(Aswika Tisna, 2013).
Jari jari kaki ini sudah menjadi nekrotik karena suplai
darah buruk. Mikroorganismme saprofit tumbuh pada jaringan mati yang menghitam.
Pada eketremitas gangren semacam ini disebut kering (Aswika Tisna, 2013).
Tentu
saja akibat nekrosis yang paling nyata adalah hilangnya fungsi daerah yang mati
itu. Jika jaringan yang nekrotik itu merupakan sebagian kecil dari organ
dengan cadangan yang besar umpamanya ginjal, mungkin tidak ada pengaruh
fugsional pada tubuh. Sebaliknya, jika daerah nekrosis merupakan bagian otak,
maka akibatnya adalah defisit neurologisnya yang hebat atau bahkan mungkin
kematian. Selain itu, daerah nekrotik dalam beberapa keadaan dapat menjadi fokus infeksi,merupakan medium pembiakan yang
baik sekali bagi pertumbuhan organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke
tempat lain dalam tubuh. Tanpa terkena infeksi pun, adanya jaringan nekrotik di
dalam tubuh dapat menimbulkan perubahan
sistemik tertentu, seperti demam, leukositosis, dan berbagaigejala subyektif.
Akhirnya, jaringan yang nekrosis sering membocorkan enzim-enzim yang
dikandungnyake dalam aliran darah karena sel-sel mati dan permeabilitas membran
sel bertambah, memungkinkan untuk menganalisa contoh darah dan menentukan
kadar berbagai enzim seperti CPK ( kreatininphosphokinase), LDH ( laktat
dehidrogenase), atau GOT (glutamik-oksaloasetik transminase). Kemudian, peningkatan dari salah satu enzim
atau enzim lain dapat menunjukkan bahwa si penderita ternyata betul
mempunyai daerah nekrosis yang tersembunyi jauh dalam jaringan. Prinsip ini menimbulkan bidang diagnostik yang penting,
enzimologi klinis (Aswika Tisna, 2013).
F.
Nasib
Jaringan Nekrotik
Paling sering jika daerah jaringan mengalami nekrosis,
maka peristiwa itu biasanya menimbulkanrespon peradangan pada bagian jaringan
yang berdekatan. Sebagai akibat dari respon peradangan ini,maka jaringan yang
mati akhirnya dihancurkan dan dihilangkan, membuka jalan bagi proses
perbaikanyang mengganti daerah nekrosis dengan sel-sel Regenerasi yang sama dengan yang hilang atau dalam banyak keadaan dengan jaringan parut (Aswika Tisna, 2013).
Jika
jaringan yang nekrosis terletak pada permukaan tubuh (misalnya, sepanjang
epitel permu-kaan saluran cerna), maka jaringan itu akan dengan mudahnya
mengelupas, sambil meninggalkan celah pada permukaan yang disebut Tukak.
Akhirnya, jika daerah yang nekrotik tidak dihancurkan atau di buang, maka
biasanya daerah itu akan ditutup dengan kapsula jaringan penghubung fibrosa
dana akhirnya akan diisi
dengan garam-garam kalsium yang diendapkan dari darah yang bersirkulasi di
daerah nekrosis. Proses klasifikasi ini mengakibatkan daerah nekrosis mengeras
seperti batu dab menetap selama hidup individu itu (Aswika Tisna, 2013).
G.
Kalsifikasi Patologis
Pengendapan
garam-garam kalsium yang tidak larut pada aliran darah, yang membuat
jaringankaku dan keras tentu saja merupakan keadaan normal pada pembentukan
tulang dan gigi. Jika gejala semacam itu terjadi di tempat lain, maka merupakan
keadaan abnormal dan disebut kalsifikasi
patologis:
Kalsifikasi Distrofik
Pada
umumnya, seperti telah diuraikan di atas, jaringan yang terluka atau jaringan
nekrotik yangtidak secara cepat dihancurkan dapat merupakan tempat kalsifikasi.
Bentuk istimewa dari kalsifikasi inidisebut distrofik. Karena daerah nekrosis
kaseosa oleh sifat alamiahnya tetap tidak dicerna dalam waktuyang lama, maka
biasanya daerah itu lebih lanjut akan mengalami kalsifikasi. Maka dengan
demikian,karena fokus-fokus kecil tuberkulosis atau infeksi-infeksi lain
terjadi di paru-paru dan di kelenjar limfe yang mengalirkan
getah bening paru-paru, maka di daerah ini biasa timbul fokus-fokus kecil
kalsifikasi distrofik. Secara biologis klasifikasi ini tidak
penting, tetapi sering tampak pada radiograf karena sifat radiofak dari endapan
garam kalsium padat. Tempat klasifikasi distrofik lain yang sering dijumpai
adalah pada dinding arteri yang sudah mengalami aterosklerotik. Sebenarnya, "pengerasan arteri" ini
disebabkan oleh pengendapan kalsium. Garam-garam kalsium juga cenderung mengendap,
dengan berlanjutnya usia, di daerah yang sebelumnya merupakan tulang tawan
seperti rawan iga. Akhirnya, endapan klasifikasi distrofik pada tempat-tempat
ini dapat mengalami perubahan nyata menjadi tulang, proses ini disebut klasifikasi
heterotropik (Aswika Tisna, 2013).
Kalsifikasi Metastatik
Garam-garam kalsium juga dapat diendapkan dalam
jaringan-jaringan lunak tubuh yang sebelumnya tidak dijumpai adanya kerusakan
jaringan atau nekrosis.Jenis
kalsifikasi ini disebut kalsifikasi metastatic. Proses ini terjadi
bukan karena kelainan jaringan, melainkan karena konsentrasi garam kalsium dan
fosfor yang abnormal di dalam sirkulasi darah. Khususnya, jika konsentrasi
zat-zat ini meningkat sampai di atas tingkat kritis tertentu, maka daya
larutnya dilampaui dan terjadilah pengendapan pada berbagai jaringan, khususny
aparu-paru, ginjal, lambung, dan dinding pembuluh darah (Aswika Tisna, 2013).
Konsentrasi
garam kalsium dan garam fosfat dipengaruhi oleh kegiatan kelenjar paratiroid,
fungsiginjal, asupan kalsium dan vitamin D dalam makanan, dan integritas
rangka. Jadi, kalsifikasi metastatikdapat terlihat pada hiperparatiroidisme,
fungsi ginjal yang menurun, diet yang abnormal, dan lesi des-truktif sistem
rangka, yang membebaskan garam kalsium dalam jumlah besar dari tulang-tulang
itu (Aswika Tisna, 2013).
Pembentukan Batu
Garam-garam kalsium
dapat juga diendapkan dalam bentuk batu atau kalkuli, di dalam sistem dari berbagai organ. Kalkuli dibentuk dari berbagai zat yang tersedia
secara lokal, yaitu bahan-bahan dari sekresi organ tertentu. Jadi, walaupun
kalkuli sering mengandung kalsium sebagai salah satuunsurnya, banyak kalkuli
pada awalnya tidak mengandung kalsium. Beberapa kalkuli terbentuk sebagai akibat dari hancurnya
debris nekrotik dalam saluran sedangkan lainnya terbentuk karena Patofisiologi/Cedera dan Kematian sel ketidakseimbangan
unsur-unsur sekresi tertentu sedemikian rupa sehingga terjadi pengendapan dari
unsur yang biasanya larut. Karena berbagai alasan, kalkuli sering ditemukan
dalam saluran empedu, ,pankreas,
kelenjar saliva, prostat, dan sistem kemih (Aswika Tisna, 2013).
Meskipun
seringkali kalkuli tidak memberikan gejala apapun dan ditemukan secara
kebetulan, banyak kalkuli yang bergerak sepanjang sistem saluran
organ tertentu, sehingga menyebabkan rasa sakit serta perdarahan. Seringkali,
kalkuli akan bergerak sampai tersangkut pada bagian saluran yang sempit dan
menimbulkan penyumbatan pada aliran keluar sekret tertentu. Jika ini terjadi,
maka sering terjadi infeksi dari organ yang tersumbat dan atrofi parenkim
(Aswika Tisna, 2013).
H.
Kematian Somatik
Kematian seluruh individu disebut kematian somatik,
bandingkan dengan kematian lokal atau nelkosis. Dahulu definisi kematian lebih
sederhana. Seseorang dinyatakan ,eninggal, jika “fungsi vital” berhenti tanpa
ada kemungkinan untuk berfungsi kembali. Jadi, jika seorang berhenti bernafas dan tidak dapat diresusitasi, maka
jantung dengan cepat berhenti berdenyut sebagai akibat darianoksia, dan orang
itu tidak dapat disangkal lagi telah mati (Aswika Tisna, 2013).
Dengan
kemajuan teknologi, maka jika seorang penderita pernafasannya berhenti dapat
dipasangrespirator mekanis. Jika denyut jantung penderita mulai terputus-putus,
dapat dipasang alat pacu jantung elektris.
Dengan adanya peralatan untuk "mempertahankan hidup" semacam ini,
maka definisi kematianmenjadi lebih sulit. Sebenarnya, sebaiknya dijelaskan
bahwa tidak semua sel tubuh mati secara serentak.Sudah dibuat jaringan hidup
dari jaringan-jaringan yang diambil dari mayat. Dalam rumah sakit sekarangini,
definisi umum tentang kematian somatik menyangkut kegiatan sistem saraf pusat
khususnya otak. Jika otak mati, maka kegiatan listrik berhenti dan
elektroen sefalogramnya menjadi isoelektris atau “mendatar”. Jika hilangnya
kegiatan listrik terjadi selama jangka waktu yang sudah ditentukan secara
ketat,maka para dokter berwenang menganggap
penderita meninggal walaupun paru dan jantung masihdapat dijalankan terus secara
buatan untuk beberapa lama (Aswika Tisna, 2013).
Perubahan Postmortem.
Setelah kematian, terjadilah perubahan-perubahan tertentu
yang dinamakan perubahan postmortem. Karena reaksi kimia dalam otot orang mati, timbul suatu kekakuan yang
dinamakanrigor mortis Kataalgor
mortismenunjukkan pada dinginnya mayat, karena suhu tubuhnya mendekati suhu lingkungan. Perubahan
lain disebut livor mortis atau perubahan warna postmortem (Aswika Tisna, 2013).
Umunya perubahan warna semacam itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa sirkulasi berhenti, darah di dalam pembuluh mengambil tempat menurut tarikan
gravitasi, dan jaringan-jaringan yang terletak paling bawah dalam tubuh menjadi
merah keungunan, disebabkan oleh bertambahnya kandungan darah. Karena jaringan-jaringan di dalam mayat itu mati,
maka secara mikroskopis enzim-enzim dikeluarkan secara lokal, dan mulai
terjadi reaksi lisis. Reaksi-reaksi ini, disebut otolisis postmortem ( secara
harafiah berarti melarutkan diri), yang sangat mirip dengan perubahan-perubahan
yang terlihat pada jaringan nekrotik, tetapi tentu saja tidak lagi disertai
reaksi peradangan. Akhirnya, bila tidak dicegah dengan tindakan-tindakan
tertentu (misalnya pembalseman) bakteri-bakteri akan tumbuh dengan subur dan
akanterjadipembusukan. Kecepatan mulai timbulnya
perubahan postmertem sangat berbeda-beda,tergantung pada individu maupun pada sifat-sifat
lingkungan sekitarnya. Jadi, penentuan waktu kematianyang tepat, oleh para
dokter dalam cerita detektif khayalan memang hanya merupakan khayal (Aswika Tisna, 2013).
KESIMPULAN
Pada
organisasi sel, sel
merupakan struktur terkecil organisme yang dapat mengatur aktivitas kehidupan
sendiri. Sel
terdiri: membran plasma, sitoplasma, nukleus dan nukleoplasma.
Yang termasuk dalam organisasi sel ialah:
a.
Membrane plasma
b.
Nucleus(inti sel)
c.
Reticulum endoplasma(RE)
d.
Mitikondria
e.
Lisosom
f.
Ribosom
g.
Badan golgy
Salah satu faktor yang paling sering yang
dapat melukai sel adalah defisiensi oksigen atau bahan makanan
a.
Efek pertama sel yang cedera adalah: lesi biokimia →
yaitu perubahan reaksi kimia / metabolik didalam sel
b.
Serangan pada sel tidak selalu mengakibatkan gangguan
fungsi, umumnya ada mekanisme adaptasi seluler terhadap stimulus
c.
Jika stimulus hilang sel dapat kembali sehat, jika
stimulus tidak hilang sel akan mati
Sel
akan mati jika pengaruh buruk pada sel hebat dan berlangsung lama → sel tidak
mampu lagi beradaptasi → proses ireversibel → kematian sel (nekrosis).
Nekrosis
adalah kematian sel ireversibel yang terjadi ketika sel cedera berat dalam
waktu lama dimana sel tidak mampu beradaptasi lagi atau memperbaiki dirinya
sendiri (hemostasis)
Jika
daerah jaringan mengalami nekrosis, maka peristiwa itu biasanya menimbulkan
respon peradangan pada bagian jaringan yang berdekatan. Sebagai akibat dari
respon peradangan ini,maka jaringan yang mati akhirnya dihancurkan dan
dihilangkan, membuka jalan bagi proses perbaikanyang mengganti daerah nekrosis
dengan sel-sel
DAFTAR PUSTAKA
Aswika Tisna, 2013. “ Makalah dan Askep Keperawatan”. Di
akses pada 10 November 2016 di http://www.scribd.com/doc/114995592/03-Cedera-Dan-Kematian-Sel.
Jan Tambayong, 2000. “
PATOFISIOLOGI untuk keperawatan”. Penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.
Komentar
Posting Komentar