Langsung ke konten utama

“HIPERTENSI”

 

Dosen pengampu  :  Nur Alim,S.Si., M.Si., Apt.

 

MAKALAH FARMAKOTERAPI

HIPERTENSI

Description: Description: 20161026091424

 

 

 

 

 

 

OLEH :

1.    MUHAJIR                            15031014079

2.    NURFITRIANA                   15031014077

3.    AYU WARDAH                   15031014099

4.    SARINA RINJANI              15031014088

5.    RISMA RAMADHANI        15031014075

6.    FIA OKTAVIANI                 15031014086

 

 

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAM  ALAM

UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR

MAKASSAR

2017

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah  tentang HIPERTENSI.

             Makalah ilmiah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

              Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

              Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang HIPERTENSI ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

 

 

 

                   Makassar, 17 oktober  2017

                                                                                               

                                                                                          Penulis

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

SAMPUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
  2. Rumusan Masalah
  3. Tujuan

BAB II  PEMBAHASAN

A.   Anatomi fisiologi hipertensi

B.   Definisi hipertensi

C.   Penggolongan hipertensi

D.   Penyebab hipertensi

E.   Patofisiologi hipertensi

F.    Gejala

G.   Faktor Resiko

H.   Klasifikasi Hipertensi

I.      Algoritma hipertensi    

J.    Penggolongan obat hipertensi

BAB III PENUTUP

A.   Kesimpulan

B.   Saran

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang  

Penyakit darah tinggi yang lebih dikenal sebagai hipertensi merupakan penyakit yang mendapat perhatian dari semua kalangan masyarakat, mengingat dampak yang ditimbulkannya baik jangka pendek maupun jangka panjang sehingga membutuhkan penanggulangan jangka panjang yang menyeluruh dan terpadu. Penyakit hipertensi menimbulkan angka morbiditas (kesakitan) dan mortalitasnya (kematian) yang tinggi.

Penyakit hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi dari berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian telah menghubungkan antara berbagai faktor resiko terhadap timbulnya hipertensi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tenyata prevalensi (angka kejadian) hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologis yang dilakukan di Indonesia menunjukan 1,8-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi.

Hipertensi, saat ini terdapat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan  lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang berhubungan dengan resiko penyakit hipertensi seperti stress, obesitas (kegemukan), kurangnya olahraga, merokok, alkohol, dan makan makanan yang tinggi kadar lemaknya.

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah, tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.

 

B.   Rumusan Masalah

1.    Bagaimana anatomi dan fisiologi hipertensi ?

2.    Apa defenisi hipertensi ?

3.    Apa saja penggolongan hipertensi ?

4.    Apa saja penyebab hipertensi ?

5.    Bagaimana patofisologi hipertensi ?

6.    Apa saja gejala hipertensi ?

7.    Apa saja faktor resiko hipertensi ?

8.    Apa saja klasifikasi hipertensi ?

9.    Jelaskan algoritma hipertensi ?

10. Penggolongan obat hipertensi ?

C.   Tujuan

               1.       Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi hipertensi

               2.      Untuk mengetahui defenisi hipertensi

               3.      Untuk mengetahui penggolongan hipertensi

               4.      Untuk mengetahui penyebab

               5.      Untuk mengetahui patofisologi hipertensi

               6.      Untuk mengetahui gejala

               7.      Untuk mengetahui faktor resiko

               8.      Untuk mengetahui klasifikasi

               9.      Untuk mengetahui Jelaskan algoritma hipertensi

            10.      Untuk mengetahui Penggolongan obat hipertensi

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.   Anatomi dan fisiologi hipertensi

1.    Jantung

Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak didalam dada, batas kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis kelima kiri pada linea midclavicular.

Hubungan jantung adalah:

Atas                      : pembuluh darah besar

Bawah                 : diafragma

Setiap sisi            : paru-paru

Belakang             : aorta desendens, oesophagus, columna vertebralis

2.     Arteri

Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya besar memiliki laposan tengah yang terdiri dari jaringan elastin (untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ).

3.    Arteriol

Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah. Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.

4.    Pembuluh darah utama dan kapiler

Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh darah utama.

5.    Sinusoid

Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan.

6.    Vena dan venul

Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna satu sama lain.(Gibson, John. Edisi 2 tahun 2002, hal 110).

B.   Defenisi hipertensi

Hipertensi didefinsikan sebagai kenaikan tekanan darah arterial yang bertahan. The Sixth Joint Natinal Comitte on the Detection, Evaluation, dan Treatment of High Blood Presure (JNC-VI) menggolongkan tekanan darah dewasa.

Pasien dengan nilai diastolic blood presure (DBP) <90 mmHg dan systolic blood presure (SBP) >140 mmHg mempunyai hipertensi terbatas pada sistolik.

Peningkatan bermakna pada tekanan darah (ke level lebih tinggi stage 3) adalah krisis hipertensi, yang bisa melambangkan hypertensive emergency (kenaikan tekanan darah dengan cedera akut target organ) atau hypertensive urgency (hipertensi akut tanpa tanda atau simtom komplikasi akut target organ).

C.   Penggolongan Hipertensi

Hipertensi dapat didiagnosa sebagai penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih sering dijumpai terkait dengan penyakit lain, misalnya obesitas, dan diabetes melitus. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:

 

 

a.      Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (Gunawan, 2001). Sebanyak  90-95 persen  kasus hipertensi yang terjadi tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Para pakar menunjuk stress sebagai tuduhan utama, setelah itu banyak faktor lain yang mempengaruhi, dan para pakar juga menemukan hubungan antara riwayat keluarga penderita hipertensi (genetik) dengan resiko untuk menderita penyakit ini. Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55 tahun, sedangkan usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan.

Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor-faktor yang terlibat dalam pathogenesis hipertensi essensial antara lain faktor genetik, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi alkohol secara berlebihan.

b.    Hipertensi renal atau hipertensi sekunder

Yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain (Gunawan, 2001). Pada 5-10 persen kasus sisanya , penyebab spesifiknya sudah diketahui, yaitu gangguan hormonal, penyakit jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau berhubungan dengan kehamilan.

Garam dapur akan memperburuk hipertensi, tapi bukan faktor penyebab. Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Hipertensi sekunder dapat terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler ginjal, hiperaldosteronisme primer dan sindroma cushing, feokromsitoma, koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obatobatan.

 

D.   Penyebab Hipertensi

Penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi essensial (primer) merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan ada kemungkinan karena faktor keturunan atau genetik (90%). Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang merupakan akibat dari adanya penyakit lain. Faktor ini juga erat hubungannya dengan gaya  hidup dan pola makan  yang kurang baik. Faktor makanan yang  sangat  berpengaruh adalah kelebihan lemak (obesitas),  konsumsi garam dapur yang tinggi, merokok dan minum alkohol.

Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka kemungkinan menderita hipertensi menjadi lebih besar. Faktor - faktor lain yang mendorong terjadinya hipertensi antara lain stress,  kegemukan (obesitas), pola makan, merokok(M.Adib,2009).

E.   Patofisologi hipertensi 

Hipertensi adalah kelainan heterogen yang bisa muncul dari penyebab spesifk (hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder terjadi pada kurang dari 5% kasus, dan kebanyakan disebabkan oleh renoparenchymal kronik atau penyakit renovascular. Kondisi lain yang menyebabkan hipertensi sekunder termasuk pheochromacytoma, sindroma Cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosteronisme primer, kehamilan, peningkatan tekanan intercranial, dan koarktasi (penyempitan) aorta. Beberapa obat yang bisa menaikkan tekanan darah termasuk kortikosteroid, estrogen, amfetamin/anorexians, MAO inhibitor, dekongestan oral, venlafaxine, siklosporin, NSAID, dan hormon tiroid.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan pengembangan hipertensi primer, termasuk:

·         Gangguan patologis pada central nervous system (CNS), serat saraf otonom, reseptor adrenergik, atau baroreseptor.

·         Abnormalitas pada renal atau jaringan autoregulator yang mengatur proses ekskresi natrium, volume plasma, dan konstriksi alteriolar.

·         Abnormalitas humoral, termasuk renin-angiotensin-aldosteron system (RAS), hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia.

·         Defisiensi pada sintesis setempat substan vasodilator pada endotel vascular, seperti prostasiklin, bradikinin, dan nitric oxide, atau peningkatan produksi substan vasokonstriktor seperti angitensin II dan endotelin I.

·         Asupan natrium yang tinggi dan peningkatan hormon natriuretik di sirkulasi yang menginhibisi transpor natrium intraseluler, sehingga reaktivitas vaskular meningkat dan tekanan darah naik.

·         Peningkatan konsentrasi kalsium intraseuler, sehingga fungsi otot polos vaskular berubah dan terjadi peningkatan tahanan vaskular perifer.

F.    Gejala

Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah diamati antara lain yaitu : gejala ringan seperti, pusing atau sakit kepala, sering gelisah, wajah merah, tengkuk terasa pegal, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak napas, rasa berat ditengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah dari hidung).

G.   Faktor Resiko

Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat dan tidak dapat dikontrol, antara lain:

a.   Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:

1)  Jenis kelamin

Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormone estrogen setelah menopause. (Marliani,2007). Peran hormone estrogen adalah meningkatkan kadar HDL yang merupakan faktor pelindung dalam pencegahan terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan hormone estrogen dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana terjadi perubahan kuantitas hormon estrogen sesuai dengan umur wanita secara alami. Umumnya, proses ini mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar,2005).

2)  Umur

Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang berusia lebih muda.. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosclerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri. Arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan serta tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur lima puluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan resiko hipertensi (Elsanti,2009). Prevalensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 60 tahun.

3)  Keturunan (Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga . Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007).

Menurut Rohaendi (2008), mengatakan bahwa Tekanan darah tinggi cenderung diwariskan dalam keluarganya. Jika salah seorang dari orang tua ada yang mengidap tekanan darah tinggi, maka akan mempunyai peluang sebesar 25% untuk mewarisinya selama hidup anda. Jika kedua orang tua mempunyai tekanan darah tingi maka peluang untuk terkena penyakit ini akan meningkat menjadi 60%.

b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:

1)   Merokok

Fakta otentik menunjukan bahwa merokok dapat menyebabkan tekanan darah  tinggi. Kebanyakan efek ini berkaitan dengan kandungan nikotin. Asap rokok (CO) memiliki kemampuan menarik sel darah merah lebih kuat dari kemampuan menarik oksigen, sehingga dapat menurunkan kapasitas sel darah merah pembawa oksigen ke jantung dan jaringan lainnya.

Laporan dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok dalam jangka waktu 10 tahun dapat menurunkan insiden penyakit jantung koroner (PJK) sekitar 24.4% (Karyadi 2002). Tandra (2003) menyatakan bahwa nikotin mengganggu sistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

2).Status Gizi

Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakitpenyakit tertentu juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai IMT≥25.0. Obesitas merupakan faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus.

Data dari studi Farmingham (AS) yang diacu dalam Khomsan (2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11 mg/dl. Prevalensi hipertensi pada seseorang yang memiliki IMT>30 pada laki-laki sebesar 38% dan wanita 32%, dibanding dengan 18% laki-laki dan 17% perampuan yang memiliki IMT<25 (Krummel 2004).

3). Konsumsi Na (Natrium)

Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Faktor lain yang ikut berperan yaitu sistem renin angiotensin yang berperan penting dalam pengaturan tekanan darah. Produksi rennin dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan dalam proses konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan sekresi aldosteron yang mengakibatkan menyimpan garam dalam air. Keadaan ini yang berperan pada

timbulnya hipertensi (Susalit dkk,2001).

4).Stres

Hubungan antara stress dan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah yang menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti tetapi angka kejadian masyarakat di perkotaan lebih tinggi dari pada di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Roehandi, 2008). Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres  akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.

H.   Klasifikasi Hipertensi

Menurut Salma Elsanti (2009), klasifikasi penyakit hipertensi terdiri dari:

Tabel 1

Kategori Hipertensi

Kategori stadium

Tekanan sistolik

Tekanan diastolic

Stadium 1 (hipertensi ringan)

140-159 mmHg

90-99 mmHg

Stadium 2 (hipertensi sedang)

160-179 mmHg

100-109 mmHg

Stadium 3  (hipertensi berat)

180-209 mmHg

110-119mmHg

Description: C:\Users\user\Downloads\noni\algoritma-hipertensi2.pngAlgoritma hipertensi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

I.      Penggolongan obat hipertensi

1.    Duretik

·         hiazide umumnya merupakan diuretik pilihan untuk perawatan hipertensi, dan semuanya sama-sama efektif untuk menurunkan tekanan darah. Pada pasien dengan  fungsi ginjal yang baik (yaitu, glomerulus filtration rate, GFR, >30 /ml menit), thiazide menjadi lebih efektif daripada loop diuretic. Tetapi, jika fungsi ginjal menurun, natrium dan air terakumulasi, penggunaan loop duretic perlu untuk melawan efek ekspansi volume dan natrium pada tekanan darah arterial.

·         Diuretik hemat kalium adalah antihipertensi lemah ketika digunakan tunggal tapi memberikan efek aditif antihipertensi  ketika digabungkan dengan thiazide atau loop diuretic. Lebih jauh, duretik hemat kalium tidak mempunyai sifat menyebabkan kehabisan kalium dan magnesium seperti pada diuretik lain.

·         Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis. Pengurangan pada volume plasma dan stroke volume yang dihubungkan dengan diuretik menurunkan cardiac output dan, sebagai hasilnya, tekanan darah. Penurunan awal pada cardiac output menyebabkan peningkatan untuk kompensasi pada tahanan vascular perifer. Dengan terapi diuretik kronik, volume cairan ekstraseluler dan volume plasma kembali hampir ke level sebelum perawatan (pretreatmeant), dan tahanan vascular perifer jatuh di bawah baseline pretreatmeant. Pengurangan pada tahanan vascular perifer bertanggungjawab untuk efek hipotensi jangka panjang. Telah dipostulatkan bahwa thiazides menurunkan tekanan darah dengan memindahkan natrium dan air dari dinding arteriolar.

·         Ketika diuretik digabungkan bersama dengan antihipertensi lain, efek aditif antihipertensi biasanya teramati karena mekanisme kerja yang independen. Lebih jauh, banyak agen antihipertensi non diuretik merangsang retensi air dan natrium, yang berlawanan dengan efek diuretik.

·         Efek samping thiazides termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Loop diuretic mempunyai efek lebih kecil pada serum lipid dan glukosa, tapi hipokalsemia bisa terjadi.

·         Hipokalemia dan hipomagnesia karena diuretik bisa menyebabkan kejang otot. Cardiac aritmia juga bisa terjadi, terutama pada pasien yang menerima terapi digitalis, pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, dan mereka dengan penyakit iskemi  jantung. Resiko hipokalemia dan efek metabolik lainnya dikurangi dengan membatasi dosis harian (seperti, 12,5-25 mg hydrochlorothiazide atau 25 mg chlorthalidone).

·         Diuretik hemat kalium bisa menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes, dan pasien yang menerima perawatan dengan ACE inhibitor, NSAID, atau suplemen kalium. Spironolakton bisa menyebabkan ginekomasti.

2.    Β-adrenergic blocker

·         Mekanisme hipotensi yang pasti dari β blocker masih belum jelas tapi melibatkan penurunan cardiac output melalui kronotropik negatif dan efek inotropik pada jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal.

·         Meski ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik yang penting pada berbagai β blocker, tidak ada perbedaan pada efek klinik untuk antihipertensi.

·         Bisoprolol, metoprolol, atenolol, dan asebutolol adalah cardioselective pada dosis rendah dan mengikat lebih kuat pada respetor β1 daripada reseptor β2. sebagai hasil, agen-agen ini lebih jarang menyebabkan bronkospasma dan vasokontriksi dan bisa lebih aman dari β blocker non selective pada pasien dengan asma, chronic obstructive pulmnary disease (COPD), diabetes, dan penyakit vascular verifer.

·         Cardioselektivitas adalah fenomena tergantung dosis, dan efeknya hilang pada dosis lebih tinggi.

·         Pindolol, penbutolol, carteolol, dan acebutolol mempunyai intrinsic sympathomimetic activity (ISA) atau aktivitas agonis parsial terhadap reseptor β. Ketika tonus simpatik rendah, seperti pada waktu istirahat, reseptor β distimulasi parsial, jadi denyut jantung istirahat, cardiac output, dan aliran darah perifer tidak dikurangi ketika reseptor diblock. Teorinya, obat ini bisa mempunyai keuntungan pada pasien dengan borderline heart failure, bradikardia sinus, atau mungkin penyakit vascular perifer. Tetapi, agen dengan ISA sebaiknya tidak digunakan karena bisa meningkatkan resiko infark myocardia.

·         Ada perbedaan farmakokinetik diantara β blocker pada metabolisme lintas pertama (first pass metabolism, FPM), waktu paruh serum, derajat lipofilitas, dan rute eliminasi. Propanolol dan metoprolol mengalami FPM yang hebat. Atenolol dan nadolol, yang waktu paruhnya relatif panjang, diekskresikan melalui renal, dan dosisnya perlu disesuaikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Bahkan meski waktu paruh  β blocker lainnya lebih pendek, pemberian sekali sehari masih bisa efektif. β blocker berbeda pada sifat lipofilitasnya dan sehingga penetrasinya ke CNS.

·         Efek samping dari blokade β pada myocardium termasuk bradikarida, abnormalitas pada konduksi atrioventricular  (AV), dan gagal jantung. Blokade β pulmonal bisa menyebabkan bronkospasma makin parah pada pasien asma atau CPOD. Blokade reseptor β2 pada arteriolar otot polos bisa menyebabkan ekstremitas menjadi dingin dan memperburuk claudication yang terjadi dalam interval atau fenomena Raynaud karena penurunan aliran darah perifer.

·         Penghentian mendadak terapi β blocker bisa menyebabkan unstable angina, infark myocardia, atau bahkan kematian pada pasien yang rentan terhadap kejadian iskemi myocardial. Pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, penghentian tiba-tiba terapi β blocker bisa dihubungkan dengan sinus takikardia, sering berkeringat, dan malaise. Untuk alasan ini, merupakan tindakan bijak untuk menurunkan dosis secara bertahap selama 14 hari sebelum dihentikan.

·         Peningkatan serum lipid dan glukosa tampaknya  hanya sementara dan mempunyai peran klinik yang kecil. β blocker meningkatkan level serum trigliserida dan menurunkan level HDL-C. β blocker  dengan sifat α blocker (seperti, labetolol) tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada konsentrasi serum lipid.

·         Pada pasien dengan diabetes, β blocker mengurangi simtom hipoglisemia dan bisa memperpanjang durasi hipoglisemia. Sehingga, penggunannya harus hati-hati pada diabetes yang dikontrol dengan ketat, dan agen cardioselective yang sebaiknya digunakan.

3.      ACE Inhibitor

·         ACE didistribusikan secara luas di banyak jaringan, dengan beberapa tipe sel yang berbeda, tapi lokasi umumnya pada sel endotelal. Karena endotel vascular meliputi area yang luas, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah, bukan ginjal. ACE inhibitor menghalangi perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor poten yang merangsang sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga menghalangi degradasi bradikinin dan merangsang sintesis senyawa vasodilator lain, seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Fakta bahwa ACE inhibitor menurunkan tekanan darah pada pasien dengan plasma renin normal dan aktivitas ACE mengindikasikan pentingnya bradikinin dan mungkin produksi ACE di jaringan sebagai penyebab meningkatnya tahanan vascular perifer.

·         Analapril dan lisinopril diberikan sekali sehari, dan benazapril, captopril, fosinopril, moexipril, quinapril, ramipril, dan trandolapril bisa memberikan pengurangan tekanan darah selama 24 jam dengan pemberian sekali atau dua kali sehari. Absorpsi captopril (tapi bukan enalapril atau lisinopril) berkurang 30-40% dengan adanya makanan di lambung.

·         Sekitar 10% pasien yang mengkonsumsi captopril mengalami kulit kemerahan, yang terkadang cepat hilang dengan dosis yang lebih kecil dan melanjutkan perawatan. Hilangnya kemampuan mengecap reversibel atau gangguan dalam pengecapan (dysgeusia) telah dilaporkan pada sekitar 6% pasien yang menerima captopril. Tingginya kejadian kulit kemerahan, dysgeusia, dan proteinuria dengan captopril dihubungkan dengan gugus sulfhydril yang tidak terdapat di enalapril maupun lisinopril. Sekitar 10-20% pasien mengalami batuk yang sulit hilang pada pemberian ACE inhibitor; pasien ini bisa menerima antagonis reseptor angiotensin II sebagai pengganti.

·         Hipotensi akut bisa terjadi  pada onset terapi ACE inhibitor, terutama pada pasien yang natrium dan volume airnya berkurang banyak. Mungkin perlu untuk menghentikan diuretic dan mengurangi dosis agen antihipertensi lain sebelum memulai terapi. Penting untuk memulai terapi ACE inhibitor pada dosis rendah dengan penambahan secara titrasi.

·         Efek samping paling serius dari ACE inhibitor adalah netropenia dan agranulocytosis, proteinuria, glomerulonephritis, gagal ginjal akut, dan angoiedema; efek ini terjadi pada <1% pasien. Pasien yang sebelumnya mengidap penyakit ginjal atau jaringan connective paling rentan terhadap efek samping ginjal dan hematologis. Pasien dengan stenosis arteri renal bilateral atau stenosis unilateral dari ginjal yang bekerja sendiri dan pasien yang tergantung pada efek vasokontriksi dari angiotensin II pada arteriol efferent paling rentan terhadap terjadinya gagal ginjal akut.

·         Hiperkalemia terlihat umumnya pada pasien dengan penyakit ginjal atau diabetes melitus (terutama dengan asidosis renal tipe IV) atau pada pasien yang menerima NSAID, suplemen kalium, atau diuretik hemat kalium.

·         ACE inhibitor tidak boleh diberikan selama kehamilan karena ancaman masalah neonatal yang serius, termasuk kegagalan ginjal dan kematian pada bayi, telah dilaporkan pada ibu yang mengkonsumsi agen ini selama trimester kedua dan ketiga.

4.    Angiotensin II Receptor Blocker

·         Angiotensin II dihasilkan oleh jalur renin-angiotensin (yang melibatkan ACE) dan jalur alternatif yang menggunakan enzim lain sepeti chymases. ACE inhibitor menghambat hanya jalur renin-angiotensin, sedangkan angiotensin II receptor blocker mengantagonis angiotensin II yang dibuat dari kedua jalur. Angiotensin II receptor blocker secara langsung menghambat reseptor AT1 angiotensin yang memediasi efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan aldosterone, aktivasi simpatik, pelepasan antidiuretic hormone, dan konstriksi arteriol efferen dari glomerulus).

·         Tidak seperti ACE inhibitor, obat ini tidak menghambat pemecahan bradikinin. Ini memang mengurangi efek samping batuk, tapi bisa ada konsekuensi merugikan karena beberapa efek antihipertensi dari ACE inhibitor bisa karena peningkatan level bradikinin. Bradikinin bisa juga penting untuk regression hipertropi myosit, regression fibrosis, dan peningkatan level aktivator plasminogen jaringan.

·         Semua obat dalam kelas ini mempunyai efek antihipertensi yang serupa dan kurva respon-dosis yang relatif datar. Penambahan dosis kecil thiazide bisa meningkatkan efeknya.

·         Karena efeknya pada cardiovascular outcome dalam jangka panjang yang tidak tentu, agen ini sebaiknya tidak dianggap equivalen ACE inhibitor pada saat ini. Agen ini berguna pada pasien yang membutuhkan ACE inhibitor (seperti, gagal jantung, diabetes) tapi tidak bisa mentolerirnya (terutama karena batuk) meski telah dicoba untuk mengurangi dosis atau pemberian ACE  inhibitor alternatif.

5.    Calcium Channel Antagonist

·         Calcium channel antagonist menyebabkan relaksasi otot cardiac dan otot polos dengan mem-block voltage-sensitive calcium channel, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos vascular menyebabkan vasodilatasi dan reduksi pada tekanan darah. Dihydropyridine calcium channel antagonist bisa menyebabkan aktivas refleks simpatik, dan semua agen (kecuali amodipine) bisa menghasilkan efek inotropik negatf.

·         Verapamil menurunkan tekanan darah, memperlambat konduksi AV nodal, dan menghasilkan efek inotropik negatif yang bisa menyebabkan gagal jantung pada pasien dengan borderline cardiac reserve. Diltiazem menurunan konduksi AV dan denyut jantung sampai tingkatan yang lebih rendah dari verapamil.

·         Diltiazem dan verapamil jarang menyebabkan abnormalitas konduksi cardiac seperti bradikardia, AV block, dan gagal jantung. Keduanya bisa menyebabkan anoreksia, mual, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada sekitar 7% pasien.

·         Nifepidine dan, sampai tingkat yang lebih rendah, derivat dihydropiridine lainnya menyebabkan peningkatan reflek yang dimediasi baroreseptor pada denyut jantung karena efek vasodilator perifer mereka yang poten. Dihydropiridine biasanya tidak menurunkan konduksi AV nodal.

·         Nifedipine jarang menyebabkan peningkatan frekuensi, intensitas, dan durasi angina yang dikaitkan dengan hipotensi akut. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan sediaan lepas lambat nifepidine atau dihydropiridine lainnya. Efek samping lain dari dihydropiridine termasuk pusing, wajah memerah (flushing), sakit kepala, gingival hyperplasia, edema perifer, perubahan mood, dan keluhan saluran cerna. Efek samping karena vasodilatasi seperti pusing, flushing, sakit kepala, dan edema perifer terjadi lebih sering dengan dihydropiridine dari verapamil atau diltiazem.

6.    Blocker Reseptor α­1 Perifer

·         Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah blocker selektif untuk reseptor α1 yang tidak merubah aktivitas reseptor α2 dan sehingga tdak menyebabkan reflek takikardi.

·         Pada dosis yang lebih tinggi dan terkadang dengan pemberian kronik dosis rendah, akumulasi air dan natrium menyebabkan perlunya terapi diuretik untuk mempertahankan efek hipotensi.

·         Efek samping CNS termasuk lassitude (kehabisan tenaga, stamina), vivid dream,  dan depresi. Fenomena dosis-pertama dicirikan dengan hipotensi ortostatik, pusing atau lemas yang segera hilang, palpitasi, dan bahkan sinkop yang terjadi dalam 1-3 jam dosis pertama atau nanti setelah dosis meningkat. Kejadian ini bisa dicegah dengan memberikan dosis pertama, dan peningkatan pertama dosis, sebelum tidur. Terkadang, pusing ortostatik bertahan dengan pemberian kronik.

·         Karena dari data  bisa disimpulkan bahwa doxazosin (dan mungkin reseptor αblocker lainnya) tidak melindungi terhadap  kejadian cardiovascular seperti terapi lain, penggunaannya pada dosis rendah sebaiknya dibatasi untuk kasus unik seperti pada pria dengan hiperplasia prostat ganas jika mereka telah menerima terapi antihipertensi standar lainnya (diuretik, β blocker, atau ACE inhibitor).

7.    Agonis Reseptor α2 Sentral.

·         Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan menstimulasi reseptor α2 adrenergic di otak, yang mengurangi symphatetic outflow dari pusat vasomotor dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2 presinap secara perifer bisa berperan pada pengurangan tonus simpatik. Konsekuensinya, bisa ada penurunan denyut jantung, cardiac output, tahanan perifer total, aktivitas plasma renin, dan reflek baroreseptor.

·         Penggunaan kronik menyebabkan retensi natrium dan cairan, yang tampaknya paling jelas dengan metildopa. Dosis rendah dari clonidine, guanfacine, atau guanabenz bisa digunakan untuk merawat hipertensi ringan tanpa perlu menambahkan diuretik.

·         Sedasi dan mulut kering adalah efek samping umum yang bisa hilang dengan dosis rendah kronik. Dan seperti antihipertensi lain yang bekerja sentral, bisa terjadi depresi.

·         Penghentian mendadak bisa menyebabkan rebound hypertension (peningkatan mendadak tekanan darah sampai ke level sebelum perawatan) atau overshoot hypertension (peningkatan tekanan darah lebih tinggi dari level sebelum perawatan). Ini diperkirakan terjadi setelah kompensasi peningkatan pada pelepasan norepinefrin yang mengikuti penghentian stimulasi reseptor α presinap.

·         Metildopa jarang menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik. Peningkatan singkat pada hepatic transaminase kadang terjadi dengan metildopa dan secara klinik tidak penting. Peningkatan yang bertahan pada serum transaminase atau alkaline phosphatase bisa mendahului onset fulminant hepatitis(hepatitis yang terjadi mendadak dalam keadaan sangat  parah), yang bisa fatal. Anemia hemolitik Coombs-positive terjadi pada <1% pasien yang menerima metildopa, meski 20% tes direct-Coomb-nya positif tanpa mengalami anemia. Untuk alasan ini, metildopa mempunyai kegunaan yang terbatas.

·         Transdermal delivery system untuk clonidine bisa dihubungkan dengan efek samping yang lebih kecil dan peningkatan kepatuhan. Patch digunakan pada kulit selama 2 minggu sebelum diganti. Tekanan darah diturunkan sementara konsentrasi serum obat yang tinggi bisa dihindari. Kerugiannya adalah harga mahal, 20% kejadian kulit kemerahan yang terjadi lokal atau iritasi, dan penundaan onset efek selama 2 atau 3 hari.

8.    Vasodilator

·         Hydralazine dan minoxidil menyebabkan relaksasi otot polos arteriol secara langsung melalui mekanisme yang meningkatkan konsentrasi seluler cyclic guanosine monophosphate (cGMP).

·         Compensatory activation dari reflek baroreseptor menyebabkan peningkatan sympathetic outflow dari pusat vasomotor, menghasilkan peningkatan denyut jantung, cardiac output, dan pelepasan renin. Konsekuensinya, keefektifan vasodilatasi dari vasodilator langsung menghilang dengan waktu kecuali pasien juga mengkonsumsi inhibitor simpatik dan diuretik. Pada pasien yang lebih tua, mekanisme baroreseptor bisa tidak optimal sehingga tekanan darah bisa diturunkan dengan terapi vasodilator tanpa menyebabkan over aktivitas simpatik.

·         Pasien yang dicalonkan untuk obat sebaiknya menerima terapi duretik dan β-adrenergic blocker sebelumnya. Vasodilator langsung bisa menyebabkan angina pada pasien dengan penyakit arteri kroner kecuali mekanisme reflek baroreseptor di-block total dengan inhibitor simpatik. Clonidine bisa digunakan pada pasien yang kontraindikasi dengan β blocker.

·         Hydralazine bisa menyebabkan sindroma seperti lupus yang terkait dosis, yang lebih umum pada asetilator lambat. Reaksi seperti lupus bisa dihindari dengan menggunakan total dosis harian <200 mg. efek samping lain dari hydralazine termasuk dermatitis, drug fever, neuropati perifer, hepatitis, dan vascular headache. Untuk alasan ini, penggunaan hydralazine pada perawatan hipertensi terbatas.

·         Minoxidil adalah vasodilator yang lebih poten dari hydralazine, dan peningkatan kompensasi pada denyut jantung, cardiac output, pelepasan renin, dan retensi natrium lebih dramatis. Retensi air dan natrium yang parah bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Minoxidil juga menyebabkan hypertrichosis reversibel pada wajah, lengan, punggung, dan dada. Efek sampng lain termasuk effusi (keluarnya cairan) pericardial dan perubahan T wave non spesifik pada ECG. Minoxidil umumnya diberikan untuk hipertensi yang sulit dikntrol.

9.    Postganglionic Sympathetic Inhibitor

·         Guanethidine dan guandrel menghabiskan norepinefrin dari terminal saraf simpatik post ganglionik dan menginhibit pelepasan norepinefirn sebagai respon terhadap stimulasi saraf simpatik. Ini mengurangi cardiac output dan tahanan vascular perifer.

·         Hipotensi postural umum terjadi karena penghalangan vasokontriksi yang dimediasi reflek. Efek samping lain termasuk impotensi, diare parah (karena aktivitas parasimpatik), dan bertambahnya berat. Karena efek samping ini, postganglionic sympathetic inhibitor mempunyai peran kecil pada pengaturan hipertensi.

10. Reserpine

·         Reserpine menghabiskan norepinefrin dari akhiran saraf simpatik dan menghalangi transpor norepinefirn ke granule penyimpanan. Ketika saraf sistimulasi, jumlah epinefrin yang dilepaskan ke sinap kurang dari biasanya. Ini mengurangi tonus simpatik, menurunkan tahanan vascular perifer dan tekanan darah.

·         Reserpine bisa menyebabkan retensi cairan dan natrium yang signifikan, dan sebaiknya diberikan dengan diuretik.

·         Inhibisi kuat aktivitas simpatik dari Reserpine menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas parasimpatik, yang berperan untuk efek samping hidung buntu, peningkatan sekresi gastrik, diare, dan bradikardi.

·         Efek samping paling serius adalah depresi mental yang terkait dosis sebagai akibat dari deplesi serotonin dan katekolamine CNS. Ini bsia dikurangi dengan dosis tidak melebihi 0,25 mg sehari. Kombinasi diuretik dan reserpine merupakan regimen antihipertensi yang efektif dan tidak mahal.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Penyakit hipertensi merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang mana dapat dihadapi baik itu dibeberapa negara yang ada didunia maupun di Indonesia.

Cara mengatur diet untuk penderita hipertensi adalah dengan memperbaiki rasa tawar dengan menambah gula merah/putih, bawang (merah/putih), jahe, kencur dan bumbu lain yang tidak asin atau mengandung sedikit garam natrium. Makanan dapat ditumis untuk memperbaiki rasa. Membubuhkan garam saat diatas meja makan dapat dilakukan untuk menghindari penggunaan garam yang berlebih. Dianjurkan untuk selalu menggunakan garam beryodium dan penggunaan garam jangan lebih dari 1 sendok teh per hari.

B.     Saran

Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang hipertensi sehingga kita dapat mengetahui hal apa yang akan dilakukan jika mendapatkan kasus seperti yang telah dijelaskan diatas, sehingga tidak menimbulkan presepsi yang berbeda dari seharusnya.

Dalam penulisan kami mungkin masih terdapat kesalahan, jika pembaca menemukan kesalahan mohon diberikan masukan dan saran agar makalah ini lebih baik lagi.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1.    Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. “Penuntun Diet”;Edisi Baru, Jakarta, 2004, PT Gramedia Pustaka Utama

 

2.      Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani W. I, Setiowulan W, “Kapita Selekta Kedokteran” Edisi ke-3 jilid 1, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakrta, 1999

 

3.    Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 7thedition  Mc Graw Hill, New York.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Uraian Bahan Laporan Analisis Farmasi

B.   Uraian Bahan 1.   Aquadest ( FI . III ; 96) Nama resmi           :   AQUA DESTILLATA Nama lain             :   Air suling R M /B M                   :   H 2 O / 18.02 Pemerian   ....... : .. Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,   tidak   mempunyai rasa Kelarutan               :   Larut dengan semua jenis larutan Penyimpanan      :   Dalam wadah tertutup baik Kegunaan                         :   Sebagai pelarut 2.   H Cl ( FI. III ; 53 ) Nama resmi             : ACI...

Uraian Sampel Aquadest ( Ditjen POM, 1995)

  B. Uraian Sampel 1.     Aquadest ( D itjen POM , 1995) Nama resmi                            : AQUADESTILLATA Nama lain                               : air suling RM/BM                                    : H 2 O / 18,02 R B                                           : H – O - H   Pemeria n      ...

Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai ilmu kimia/farmasi

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di dalam Al-Qur’an terdapat kandungan yang merujuk pada fenomena-fenomena alamiah yang dapat dijumpai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran merupakan Kalamullah (Perkataan/Firman Allah S.w.t) yang bagi kita ummat muslim sudah tidak ada keraguan padanya. Al-Quran banyak sekali menyimpan rahasia dan seiring dengan perkembangan zaman, berjalanya waktu maka semakin membuktikan kebenaran Kitab Allah S.w.t. Di dalam Al-Quran tentunya sangat menganjurkan kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan nya dengan sebaik-baiknya. Terkhusus kali ini kita akan memperluas khasanah pengetuhuan kita tentang ilmu kimia atau farmasi serta pentingnya memelihara kebersihan bagi seorang muslim, yang tentunya semakin membuktikan keben a ran dan InsyaAllah akan men am bah keimanan kita akan kitabullah Al-quran al kariim. B.      Rumusan Masalah 1.       Apa itu ilmu kimia/...