TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah
meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau
diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu
5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang).7 Hipertensi
didefinisikan oleh Joint National
Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai
tekanan yang lebih tinggi dari 140 /
90 mmHg.22
Hipertensi merupakan
penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor resiko yang
dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat
dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat
dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola
konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.23
Hipertensi dapat
mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan jantung, penyakit jantung
koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada kelemahan
fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat
kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling
berpengaruh penyebab penyakit jantung (cardiovascular).24,25
8
2.2 Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi
dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik, hipertensi
diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan
sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada
usia lanjut. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri
apabila jantung berkontraksi (denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan
tekanan maksimum dalam arteri dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah
sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
Hipertensi
diastolik (diastolic hypertension) merupakan
peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik,
biasanya ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi
apabila pembuluh darah kecil menyempit secara tidak normal, sehingga
memperbesar tahanan terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan
tekanan diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila
jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi
campuran merupakan peningkatan pada tekanan sistolik dan
diastolik.26-27
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1)
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat
sekitar 95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin,
defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor
yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polisitemia.
2)
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme
primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.28
Menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi
menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.
(Tabel 2.)
Tabel
2. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII29
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal
|
|
<
120
|
|
<
|
80
|
|
|
Prehipertensi
|
120 – 139
|
80 – 89
|
Hipertensi derajat I
|
140 – 159
|
90 – 99
|
Hipertensi derajat II
|
≥ 160
|
≥ 100
|
Tabel
3. Klasifikasi tekanan darah menurut WHO / ISH30
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Hipertensi
berat
|
|
≥ 180
|
|
≥ 110
|
|
Hipertensi sedang
|
160 – 179
|
100 – 109
|
Hipertensi ringan
|
140 – 159
|
90 – 99
|
Hipertensi perbatasan
|
120 – 149
|
90 – 94
|
Hipertensi
sistolik perbatasan
|
120 – 149
|
< 90
|
Hipertensi
sistolik terisolasi
|
> 140
|
< 90
|
Normotensi
|
< 140
|
< 90
|
Optimal
|
< 120
|
< 80
|
2.3 Patofisiologi
Tubuh memiliki sistem
yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan
oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan
darah dalam jangka panjang reflek kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk
sistem kontrol yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang
dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan
berbagai organ terutama ginjal.
1) Perubahan
anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis
adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan penebalan dan
hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses multifaktorial.
Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk deposit substansi
lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi
lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak. Pertumbuhan
plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh darah,
obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada organ
atau
bagian tubuh tertentu.31-32
Sel endotel pembuluh
darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan pembuluh darah jantung
dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit
dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus
hipertensi primer.33
2) Sistem
renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya
hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE).
Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah
melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan
sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH)
dan rasa haus. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan
ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.
Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi
sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.34
3) Sistem saraf simpatis
Mekanisme yang
mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor,
pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis,
yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis
ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah.35
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah
2.4 Faktor-faktor Risiko Hipertensi
Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:
1) Usia
Tekanan darah cenderung meningkat dengan
bertambahnya usia. Pada laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun
sedangkan pada wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.
2) Ras/etnik
Hipertensi bisa mengenai siapa saja.
Bagaimanapun, biasa sering muncul pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada
Kaukasia atau Amerika Hispanik.
3) Jenis
Kelamin
Pria
lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita.
4) Kebiasaan
Gaya Hidup tidak Sehat
Gaya hidup tidak sehat
yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain minum
minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.36
a. Merokok
Merokok
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi, sebab rokok
mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh
darah kecil dalam paru-paru dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di
otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang
lebih tinggi.37
Tembakau
memiliki efek cukup besar dalam peningkatan tekanan darah karena dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Kandungan bahan kimia
dalam tembakau juga dapat merusak dinding pembuluh darah.38-39
Karbon
monoksida dalam asap rokok akan
menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan
darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang
cukup ke dalam organ dan
jaringan tubuh lainnya.37
Karbon
monoksida dalam asap rokok akan
menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan
darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang
cukup ke dalam organ dan
jaringan tubuh lainnya.40
b. Kurangnya aktifitas fisik
Aktivitas
fisik sangat mempengaruhi stabilitas tekanan darah. Pada orang yang tidak aktif
melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang
lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah, makin
besar pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga meningkatkan
tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas
fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan
menyebabkan risiko hipertensi meningkat.
Studi epidemiologi
membuktikan bahwa olahraga secara teratur memiliki efek antihipertensi dengan
menurunkan tekanan darah sekitar 6-15 mmHg pada penderita hipertensi. Olahraga
banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga isotonik dan
teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada
hipertensi.41
2.5 Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi
dengan pemeriksaan fisik paling akurat menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih dari satu
kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan menekuk
di atas meja dengan posisi
telapak tangan menghadap ke atas dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung.
Pengukuran dilakukan dalam keadaan tenang. Pasien diharapkan tidak mengonsumsi
makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi tekanan darah misalnya kopi, soda,
makanan tinggi kolesterol, alkohol dan sebagainya.42
Pasien yang terdiagnosa hipertensi dapat dilakukan tindakan
lebih lanjut yakni :
1) Menentukan
sejauh mana penyakit hipertansi yang diderita
Tujuan pertama program diagnosis adalah
menentukan dengan tepat sejauh mana penyakit ini telah berkembang, apakah
hipertensinya ganas atau tidak, apakah arteri dan organ-organ internal
terpengaruh, dan lain- lain.
2) Mengisolasi
penyebabnya
Tujuan kedua dari
program diagnosis adalah mengisolasi penyebab spesifiknya.
3) Pencarian
faktor risiko tambahan
Aspek lain yang penting dalam pemeriksaan,
yaitu pencarian faktor-faktor risiko tambahan yang tidak boleh diabaikan.
4) Pemeriksaan
dasar
Setelah terdiagnosis hipertensi maka akan
dilakukan pemeriksaan dasar, seperti kardiologis, radiologis, tes laboratorium,
EKG (electrocardiography) dan
rontgen.
5) Tes
khusus
Tes yang dilakukan antara lain adalah :
a. X-
ray khusus (angiografi) yang mencakup
penyuntikan suatu zat warna yang digunakan untuk memvisualisasi jaringan arteri
aorta, renal dan adrenal.
b. Memeriksa
saraf sensoris dan perifer dengan suatu alat electroencefalografi (EEG), alat ini menyerupai electrocardiography (ECG atau EKG).43
2.6 Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang
lama akan berbahaya sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat
menyerang berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah
arteri, serta ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas
hidup penderita menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya
kematian pada penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.44
Hipertensi dapat
menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut
dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau
karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor
angiotensin II, stress oksidatif, down
regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet
tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya
kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya
ekspresi transforming growth factor-β
(TGF-β).45
Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan
kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan
organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah: 45
1)
Jantung
- hipertrofi
ventrikel kiri
- angina
atau infark miokardium
- gagal
jantung
2)
Otak
- stroke
atau transient ishemic attack
3)
Penyakit ginjal kronis
4)
Penyakit arteri perifer
5)
Retinopati
2.6.1 Komplikasi Hipertensi Pada Ginjal
Penyakit ginjal kronik
dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan mengakibatkan
darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga nefron akan terganggu
dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Pengurangan massa ginjal
akan mengakibatkan nefron yang masih hidup akan melakukan kompensasi yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Proses maladaptasi ini berlangsung singkat sehingga
terjadi peningkatan LFG mendadak yang akhirnya mengalami penurunan.
Hiperfiltrasi yang terjadi juga akibat peningkatan aktivitas aksis
rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal. Kerusakan progresif nefron akan
terjadi dan berlangsung lama (kronik). Kerusakan membran glomerulus juga akan
menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai
akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama
terjadi pada hipertensi kronik.46
2.7 Definisi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit
ginjal kronis adalah suatu keadaan dimana ginjal secara bertahap dan progresif
kehilangan fungsi nefronnya. Penurunan fungsi ginjal ini bersifat kronis dan
irreversibel.Berbagai penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara
progresif dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik. Gejala-gejala klinis yang
serius seringkali tidak muncul sampai jumlah nefron fungsional berkurang
sedikitnya 70-75 persen di bawah normal. Hal ini disebabkan karena nerfron yang
tersisa masih dapat
melakukan kompensasi
dengan meningkatkan filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut. 1, 46
Sayangnya keadaan ini justru menyebabkan nefron yang tersisa akan lebih mudah
rusak sehingga mempercepat kehilangan nefron. 47
Tabel
4. Batasan penyakit ginjal kronik: 46
Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu
kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus berdasarkan:
1. -
Kelainan patologik
- Petanda kerusakan
ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan
Laju filtrasi glomerulus < 60
ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
2.
tanpa kerusakan ginjal
Keadaan tidak
terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama dengan atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Klasifikasi
PGK atas dasar derajat penyakit dibuat berdasarkan LFG yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
*)pada
perempuan dikalikan 0.85
Tabel
5. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit46
Derajat
|
Penjelasan
|
LFG
|
1.
|
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
|
>90
|
2.
|
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan
|
60-89
|
3.
|
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang
|
30-59
|
4.
|
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat
|
15-29
|
5.
|
Gagal ginjal
|
<15
|
2.8 Etiologi PGK
National
Kidney Foundation (NKF) tahun 2011 menyebutkan bahwa dua
penyebab utama
penyakit ginjal kronis adalah diabetes dan hipertensi. Diabetes dapat
menyebabkan kerusakan pada banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan
jantung, serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi yang tidak
terkendali dapat menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan penyakit
ginjal kronis. Sebaliknya penyakit ginjal kronis juga dapat menyebabkan tekanan
darah tinggi. 48
Tabel
6. Penyebab Utama PGK di Amerika Serikat (1995-1999) 46
Penyebab
|
Insiden
|
Diabetes Melitus
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
|
44%
|
Hipertensi
dan penyakit pembuluh darah besar
|
27%
|
Glomerulonefritis
|
10%
|
Nefritis
interstitialis
|
4%
|
Kista dan
penyakit bawaan lain
|
3%
|
Penyakit
sistemik (misal, lupus dan vasculitis)
|
2%
|
Neoplasma
|
2%
|
Tidak
diketahui
|
4%
|
Penyakit
lain
|
4%
|
2.9 Patofisiologi PGK
Patofisiologi
penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Jika terdapat kerusakan nefron,
ginjal mempunyai kemampuan kompensasi untuk mempertahankan LFG dengan cara
meningkatkan daya filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut dari nefron yang
tersisa. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi secara struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi
“kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh
penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat yang selanjutnya diikuti proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa dan akhirnya terjadi penurunan fungsi
nefron
yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi. 46
Penurunan fungsi ginjal
yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah
diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi
sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada
penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah
adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang
disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang
tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan
jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal
ginjal terminal. 46
Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Kemungkinan mekanisme progresi gagal ginjal di antaranya akibat peningkatan
tekanan glomerulus (akibat peningkatan tekanan darah sistemik, atau kontriksi
arteriolar eferen akibat peningkatan kadar angiotensin II), kebocoran protein
glomerulus, kelainan lipid. 49
Stadium yang paling dini, dimana gejala-gejala
klinis yang serius, seringkali tidak muncul. Secara perlahan tapi
pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.1
Tabel 7. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik50
Derajat
|
Penjelasan
|
LFG
(ml/mnt)
|
Komplikasi
|
|
1
|
Kerusakan
ginjal dengan LFG
normal
|
≥90
|
|
|
2
|
Kerusakan ginjal dengan penurunan
LFG
ringan
|
60-89 -
|
Tekanan darah
meningkat
|
mulai
|
3
|
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang
|
30-59
-
-
-
-
|
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
|
|
|
|
-
|
Hipertensi
|
|
|
|
-
|
Hiperhomosistinemia
|
|
4
|
Kerusakan ginjal dengan penurunan
LFG
berat
|
15-29
-
-
-
-
|
Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
|
|
5
|
Gagal ginjal
|
<15 -
|
Gagal jantung
|
|
|
|
-
|
Uremia
|
Komplikasi penyakit
ginjal kronik disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya diekskresi
oleh ginjal, serta produksi eritopoietin dan vitamin D yang tidak adekuat oleh
ginjal.
Banyak komplikasi yang
timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal,
seperti: 47
1. Anemia
akibat produksi eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal
2. Hipertensi
yang diakibatkan oleh : 51
a. Retensi
natrium
b. Peningkatan
system RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan
regional
c. Aktivitas
saraf simpatis meningkat karena kerusakan ginjal
d. Hiperparatiroid
sekunder
e. Pemberian
eritropoetin
3. Komplikasi
kulit berupa gatal yang dapat disebabkan oleh deposit kalsium fosfat pada
jaringan
4. Perikarditis
dapat terjadi akibat kadar ureum dan fosfat yang tinggi
5. Kardiomiopati
dilatasi atau hipertrofi ventrikel kiri akibat hipervolemia
6. Komplikasi
neurologis dan psikiatrik dapat terjadi akibat uremia
7. Gangguan
imunologis
3.0 Pendekatan Diagnostik52
1) Gambaran
Klinis
Gambaran klinis penyakit ginjal
kronik meliputi :
a. Sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, dan sebagainya
b. Sindrom
uremia, yang terdiri atas lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremicfrost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma
c. Gejala
komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi ginjal, payah
jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
2) Gambaran
Laboratoris
Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai
penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan
fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan
LFG
c. Kelainan
biokimiawi darah yang meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipo kloremua,
hipofosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan
urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isotenuria
3) Gambaran
Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Foto
polos abdomen, bias tampak radio opak.
b. Pielografi
intravena. Jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bias melewati filter
glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi
antegrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi.
d. Ultrasonografi
ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis atau batu ginjal, massa,
kalsifikasi.
e. Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
4) Pemeriksaan
Histopatologi
Pemeriksaan dilakukan
dengan cara biopsi pada ginjal yang masih mempunyai ukuran mendekati normal.
Tujuan pemeriksaan ini untuk mengetahui
etiologi, terapi, prognosis dan evaluasi terapi. Kontraindikasinya adalah pada
keadaan ginjal yang sudah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi tak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan obesitas.
Komentar
Posting Komentar